Internalisasi Budaya Work-Life Balance Pada Aparatur Sipil Negara di Mahkamah Agung
Oleh: Fakhir Tashin Baaj, SH
Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim)
Pengadilan Agama Sleman
Mahkamah Agung dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 menjelaskan tentang arahan pembaruan manajemen perkara. Pembaruan manajemen perkara di pengadilan dilakukan dalam rangka mewujudkan 2 (dua) misi MA, yaitu: pertama, memberikan pelayanan hukum yang memiliki kepastian dan berkeadilan bagi pencari keadilan; dan kedua, meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Agenda penyempurnaan pada manajemen perkara dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu sebagai berikut: 1. Modernisasi manajemen perkara; 2. Penataan ulang organisasi manajemen perkara; 3. Penataan ulang proses manajemen perkara.[1]
Pembaruan Manajemen Perkara yang digadang oleh Mahkamah Agung sebagai upaya pemerataan beban kerja yang diemban Hakim beserta supporting unit dalam penyelesaian perkara. Berdasarkan data yang dimiliki Mahkamah Agung, jumlah kekurangan hakim pada 3 (tiga) lingkungan peradilan sesuai perhitungan beban kerja pada satuan kerja pengadilan di seluruh Indonesia adalah 4.224 orang, yang terdiri dari Peradilan Umum sebanyak 2.762, Peradilan Agama sebanyak 1.347, dan Peradilan Tata Usaha Negara sebanyak 115.[2] Padahal proyeksi pegadaan jabatan Hakim melalui formasi Analis Perkara Peradilan (APP) pada sosialisasi penetapan kebutuhan Calon Hakim Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2021 disebutkan bahwa kebutuhan Hakim adalah 1531 orang hakim di 3 (tiga) kamar peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara). Jumlah ini masih belum ideal apabila dibandingkan dengan rasio beban penyelesaian perkara dan jumlah kekurangan Hakim di seluruh satuan kerja pengadilan di Indonesia.
Dengan rasio beban penyelesaian perkara yang belum ideal, secara langsung akan berdampak pada kualitas produk pengadilan dan proses pengerjaan yang melebihi waktu ideal pula. Sampai sekarang, khususnya di Pengadilan Kelas 1B dan Kelas 1A yang memiliki jumlah perkara melebih 1000 perkara per tahun, masih banyak dijumpai Hakim dan Panitera Sidang yang berkerja melebih jam kerja kantor untuk menyelesaikan perkara tepat waktu dan mendapatkan bobot nilai maksimal pada penilaian SIPP.
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Implementasi Core Values Dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara mengamanatkan bahwa core values (nilai-nilai dasar) Aparatur Sipil Negara yang harus diinternalisasi adalah nilai-nilai BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif). Salah satu nilai yang mengamanatkan pentingnya tanggung jawab dalam penyelesaian perkara dengan baik dan tepat waktu adalah nilai akuntabel. Nilai akuntabel mengharuskan setiap Aparatur Sipil Negara untuk melaksanakan tugas dengan jujur, bertanggung jawab, cermat, disiplin dan berintegritas tinggi. Nilai akuntabel ini pada dasarnya harus dilaksanakan agar tugas dan pokok fungsi Aparatur Sipil Negara dapat terlaksana dengan baik. Namun nilai ini juga tetap harus dibatasi dalam ranah pekerjaan dan pada jam kerja yang telah diatur. Hal ini bertujuan agar peran Aparatur Sipil Negara sebagai mahluk individu di luar jam kerja tidak akan terganggu.
Sebagai makhluk individu, manusia juga memiliki peran yang berfungsi dalam menjaga dan mempertahankan harkat martabat, memenuhi hak-hak dasarnya, dan merealisasikan potensi diri. Peran-peran ini didistribusikan ke dalam beberapa aspek atau domain seperti keluarga, pekerjaan, masyarakat dan beberapa domain lain. Dalam lingkup Peradilan Agama, terdapat adagium yang mengindetifikasikan dengan fungsi peran manusia yaitu “hakim di mata hukum, ulama di mata masyarakat.” Adagium ini meingisyaratkan bahwa peran seorang hakim bukan hanya menjadi pengadil di persidangan, namun juga menjadi pemuka agama atau tokoh masyarakat di masyarakat.
Sehingga idealnya peran-peran yang diemban individu ini harus dilaksanakan secara harmonis sehingga dalam pelaksananaanya tidak boleh menyimpangi porsi satu sama lain. Dengan demikian, beban kerja yang tidak seimbang antara kuantitas dan kualitas hakim secara tidak langsung akan mengakibatkan kehidupan pribadi Aparatur Sipil Negara akan dikorbankan untuk memenuhi ekspektasi pelayanan hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Pada akhirnya keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi atau work-life balance akan menjadi timpang sebelah.
Keseimbangan Kerja-Kehidupan (Work-Life Balance) didefinisikan oleh Kirchmeyer (2000) sebagai pencapaian pengalaman yang memenuhi dalam berbagai aspek kehidupan yang membutuhkan berbagai sumber daya, seperti energi, waktu, dan komitmen, dan sumber daya ini tersebar di semua domain.[3]
Jika didefinisikan secara sederhana, keseimbangan kerja-hidup atau work-life balance merupakan situasi ketika seseorang bisa membagi dengan seimbang waktu dan tanggung jawab mereka terhadap kehidupan pribadi dan pekerjaan. Dengan begitu, mereka tidak akan merasa terlalu stres karena pekerjaan. Di waktu yang sama, mereka tetap memiliki waktu untuk pribadi dan keluarga. Di era modern ini, mulai banyak pekerja yang memprioritaskan hak-hak work-life balance dalam pekerjaan dibanding gaji maupun tunjangan. Pada 2021, data dari survei terhadap lebih dari 9.000 pekerja Inggris menunjukkan 65% pencari kerja lebih memprioritaskan work-life balance daripada gaji dan tunjangan. Hal serupa terjadi di AS: dari 4.000 responden Survei Karir FlexJobs 2022, 63% peserta mengatakan mereka akan lebih memilih keseimbangan daripada gaji yang lebih besar.[4]
Budaya work-life balance dapat dilaksanakan dengan baik dengan beberapa pondasi, antara lain[5]:
1. Flexi-time
Flexi time atau jam kerja fleksibel adalah pengaturan di mana jadwal kerja diatur antara karyawan dan pemberi kerja sehingga menguntungkan bagi keduanya.
2. Flexi-place
Flexi-place memberikan opsi kepada pekerja untuk bekerja dari tempat non-kerja atau bukan pada tempat kerja secara konvensional.
3. Shared-work
Shared work atau pembagian pekerjaan adalah pengaturan di mana dua orang atau lebih yang memiliki profil pekerjaan serupa membagi tanggung jawab mereka dengan membagi waktu dan kompensasi di antara mereka sendiri.
4. Leaves
Kebijakan berkenaan dengan cuti yang diberikan oleh berbagai organisasi meliputi cuti ayah/ibu, cuti tidak masuk kerja, hari libur tambahan, cuti kerja, cuti belajar, cuti darurat, cuti karier, dan lain sebagainya.
Melihat perkembangan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia di zaman modern ini, tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kerja badan peradilan di Indonesia masih sangat konvensional. Sehingga tidak dapat mengakomodir keempat pondasi work-life balance tersebut di atas secara ideal.
Namun, pada dasarnya upaya penyeimbangan kehidupan pribadi dan kerja sudah dicanangkan oleh Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia. Pada forum pertemuan para pimpinan tinggi di bidang manajemen ASN se-ASEAN (Cooperation on Civil Service Matters (ACCSM)), Plt. Kepala BKN, Haryomo Dwi Putranto selaku Ketua Delegasi mewakili Indonesia, menyinggung pentingnya keseimbangan kerja dan kehidupan bagi pekerja sektor publik dalam hal ini ASN. Dalam tataran penerapan gagasan program ini, Haryomo menguraikan ada beberapa program kerja yang bisa diterapkan. Di antaranya pengembangan program pelatihan bagi ASN tentang literasi kesehatan mental; penerapan kerja jarak jauh dan pengaturan jam kerja yang fleksibel; pembuatan kebijakan pembatasan lembur; mendorong cuti tahunan untuk mencegah kelelahan; dan meningkatkan kesejahteraan ASN.[6]
Dengan telah adanya gagasan program dari BKN tersebut di atas, Mahkamah Agung dapat mengambil inisiatif dengan melakukan beberapa penyesuaian, pengaplikasian pondasi work-life balance masih tetap dapat diterapkan sebagai berikut:
1. Flexi-time
Sebagian besar satuan kerja di bawah Mahkamah Agung memiliki jam kerja pada hari Senin sampai dengan kamis Kamis yaitu pukul 08.00 s/d 16.30 WIB dan pada hari Jumat pada pukul 07.30 s.d. 16.30 WIB. Sampai saat ini belum ada peraturan yang bisa menyimpangi aturan jam kerja tersebut dengan waktu kerja yang fleksibel. Beban kerja yang tidak ideal mengakibatkan sering kali Aparatur Sipil Negara bekerja over-time atau melebihi waktu dengan tanpa upah tambahan. Terlebih lagi, romantisasi membawa pekerjaan hingga lembur atau dibawa ke rumah masih sangat sering dijumpai di badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dedikasi kepada negara diartikan secara sempit sehingga konsepsi yang salah terhadap makna pengabdian diartikan secara salah pula.
Hal ini dapat diatasi dengan manajemen waktu yang baik yang masing-masing pribadi Aparatur Sipil Negara akan membuat penyelesaian perkara akan selesai tepat waktu. Dari sisi pimpinan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung telah mengambil inisatif yaitu dengan mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Ri Nomor :048/Dja/Sk.Kp3.4.3/Iv/2024 Tentang Evaluasi Kinerja Pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (Sipp) Di Lingkungan Peradilan Agama.
Dengan adanya Keputusan Dirjen Badilag tersebut di atas, kriteria penilaian SIPP untuk waktu putus perkara dengan bobot nilai waktu putus tertinggi (5 poin) adalah kurang dari sama dengan 3 bulan. Dimana sebelumnya, bobot nilai penuh akan didapatkan dengan penyelesaian perkara kurang dari sama dengan 1 bulan. Untuk waktu minutasi berkas perkarapun, bobot nilai tertinggi (5 poin) dilakukan dalam waktu 1-2 hari. Hal ini lebih ringan dibandingkan dengan aturan sebelumnya Dimana bobot nilai tertinggi harus melakukan minutasi berkas dalam jangka waktu 1 hari atau biasa dikenal dengan one day minute. Dengan demikian, penyelesaian perkara menjadi lebih maksimal karena tidak diburu oleh waktu satu hari dan secara tidak langsung dapat meluangkan waktu lebih banyak pada kehidupan pribadi.
2. Flexi-place
Penerapan pondasi flexi-place memang masih agak sulit diterapkan khususnya pada satuan kerja di bawah Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan, sebagian besar pelayanan hukum kepada Masyarakat pencari keadilan mulai dari pemberian informasi, pendaftaran perkara, sidang serta pengambilan produk dilakukan di kantor fisik masing-masing satuan kerja. Sehingga segala aktifitas dan business process badan peradilan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara harus dilaksanakan di kantor.
Kemajuan pesat penanganan perkara secara elektronik (e-Litigasi) melalui aplikasi e-Court, seharusnya dapat menjadi momentum penerapan sistem kerja work from home (bekerja dari rumah) atau work from anywhere (bekerja dari mana saja). Dengan penangangan secara elektronik, Majelis Hakim beserta Panitera Sidang dapat melakukan pengecekan dan pemeriksan dokumen persidangan elektronik dari mana saja dan tidak harus berada di kantor. Namun, pengaplikasian sistem work from home
atau work from anywhere harus dilakukan dengan perencanaan dan pengawasan yang maksimal agar tidak ada penyalahgunaan sistem tersebut untuk kepentingan pribadi Aparatur Sipil Negara.
3. Shared work
Pembagian kerja dalam lingkungan peradilan dititikberatkan pada pimpinan di satuan kerja terkait. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan menjelaskan bahwa Ketua Pengadilan sebagai pimpinan Pengadilan bertanggung jawab atas terselenggaranya administrasi perkara pada Pengadilan.
Tanggung jawab atas administrasi perkara di Pengadilan salah satunya diwujudkan melalui Penetapan Majelis Hakim dilakukan oleh Ketua Pengadilan. Dengan pembagian perkara yang adil, tentu saja mengantisipasi adanya salah satu Majelis Hakim beserta Panitera Sidangnya yang overwork (bekerja berlebihan) dan overtime (bekerja melebih waktu).
4. Leaves
Pemberian cuti kepada Aparat Sipil Negara diatur dalam Pasal 341 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang menyatakan bahwa cuti PNS terdiri atas 1. cuti tahunan; 2. cuti besar; 3. cuti sakit; 4.cuti melahirkan; 5. cuti karena alasan penting; 6.cuti bersama, dan 7. cuti di luar tanggungan negara. Pemberian izin cuti merupakan hak yang dimiliki Aparatur Sipil Negara agar keseimbangan kerja dan kehidupan tidak terganggu. Tentu harus menjadi catatan kepada pejabat yang memberikan izin agar tidak dipersulit selama kewajiban-kewajiban selama masa cuti dapat ditanggulangi oleh pegawai lainnya. Hal ini berkesinambungan dengan pondasi shared work pada poin 3 di mana pendistribusian beban kerja harus adil dan merata serta dapat saling mengisi apabila ada salah satu Aparatur Sipil Negara yang tidak dapat hadir di satuan kerja dikarenakan cuti.
Dalam berbagai jurnal yang meneliti tentang work-life balance, ditemukan bahwa keseimbangan kerja-kehidupan (work-life balance) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Maka keseimbangan kerja-kehidupan (work-life balance) yang meningkat akan disertai oleh kinerja pegawai yang meningkat pula.[7] Keseimbangan kerja-kehidupan (work-life balance) dapat menghindarkan Aparatur Sipil Negara dari burnout stres yang sudah menumpuk selama beberapa periode waktu bekerja. Sehingga penerapan keseimbangan kerja-kehidupan (work-life balance) di Mahkamah Agung diharapkan dapat meningkatkan pula kepuasaan kerja Aparatur Sipil Negara serta kepuasaan pelayananan bagi masyararakat pencari keadilan.
Daftar Pustaka
Buku
RI, Mahkamah Agung, Cetak Biru Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung R1, 2010), hal. 35.
Jurnal
Khateeb, Fatima R., “Work Life Balance-A Review Of Theories, Definitions And Policies,” Cross-Cultural Management Journal, Volume Xxiii, Issue 1 (2021).
Ramdhani, Destry Yayu, “Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balance) Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan, Manajerial,” Vol. 20, No.1 (Januari 2021).
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PNS, PP Nomor 11 Tahun 2017, LN. 2017 No. 63, TLN No. 6037, LL SETNEG : 198.
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan, Perma Nomor 7 Tahun 2015.
Badan Peradilan Agama MA, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI Tentang Evaluasi Kinerja Pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (Sipp) Di Lingkungan Peradilan Agama, SK Dirjen Badilag Nomor :048/Dja/Sk.Kp3.4.3/Iv/2024.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi RI, Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Tentang Implementasi Core Values Dan Employer Branding Aparatur Sipil Negara, SE Menteri Pendayaagunaan Aparatur Negara dan RB Nomor 20 Tahun 2021.
Web
Humas Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Kekurangan Hakim Pada 3 (Tiga) Peradilan Seluruh Indonesia Sebanyak 4.224 Orang, https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5947/mahkamah-agung-kekurangan-hakim-pada-3-tiga-peradilan-seluruh-indonesia-sebanyak-4224-orang .
Kate Morgan, “Apa artinya 'work-life balance' bagi pekerja modern?”, BBC News Indonesia, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd10xwkdqe1o .
Badan Kepegawaian Negara, “Penerapan Work-Life Balance Jadi Isu yang Dibawa Indonesia dalam Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN,” https://www.bkn.go.id/penerapan-work-life-balance-jadi-isu-yang-dibawa-indonesia-dalam-pertemuan-tingkat-tinggi-asean/ .
[1] Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung R1, 2010), hal. 35.
[2] Humas Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Kekurangan Hakim Pada 3 (Tiga) Peradilan Seluruh Indonesia Sebanyak 4.224 Orang, https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/5947/mahkamah-agung-kekurangan-hakim-pada-3-tiga-peradilan-seluruh-indonesia-sebanyak-4224-orang , d diakses pada 03 November 2024.
[3] Fatima R. Khateeb, “Work Life Balance-A Review Of Theories, Definitions And Policies,” Cross-Cultural Management Journal, Volume Xxiii, Issue 1 (2021), hal. 28.
[4]Kate Morgan, “Apa artinya 'work-life balance' bagi pekerja modern?”, BBC News Indonesia, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd10xwkdqe1o , diakses pada 04 November 2024.
[5]Op.Cit, Fatima R. Khateeb, hal. 29.
[6] Badan Kepegawaian Negara, “Penerapan Work-Life Balance Jadi Isu yang Dibawa Indonesia dalam Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN,” https://www.bkn.go.id/penerapan-work-life-balance-jadi-isu-yang-dibawa-indonesia-dalam-pertemuan-tingkat-tinggi-asean/ , diakses pada 03 November 2024.
[7] Destry Yayu Ramdhani, “Keseimbangan Kehidupan Kerja (Work Life Balance) Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan, Manajerial,” Vol. 20, No.1 (Januari 2021), hal. 104.