Semar Mbangun Kayangan dalam Peringatan HUT Mahkamah Agung RI ke-78
Banggai Laut. 25 Agustus 2023.
Perayaan hari ulang tahun Mahkamah Agung Republik Indonesia ke-78 terasa lebih lengkap dengan digelarnya pertunjukkan wayang di Halaman Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta. Pagelaran wayang ini mempersembahkan lakon berjudul Semar Mbangun Kayangan. Hadir secara langsung di tempat pagelaran, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H., Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bidang Yudisial, Yang Mulia Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., Panglima TNI, Laksamana TNI H. Yudo Margono, S.E., M.M., C.S.F.A.., Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H., dan Menteri PAN-RB, Abdullah Azwar Anas. Turut hadir secara online di Media Center, Ketua Pengadilan Agama Banggai, Bapak Mohamad Adam, S.H.I., Wakil Ketua, Ibu Aminah Sri Astuti H. S., S.E.I., Sekretaris, Bapak Sabrin, S.Ag., dan Kasubag PTIP, Bapak Amiruddin U. Labugis, S.Pi, untuk menyaksikan pagelaran wayang yang dipersembangkan oleh 3 (tiga) dalang sekaligus yakni Ki Bayu Aji, Ki Dr. Yanto, Ki Sri Kuncoro Ki Harso. Disela-sela pertunjukkan, dilakukan pengundian kupon berhadiah bagi pegawai dan umum. Hadiah yang diberikan pun cukup menarik, yakni beberapa buah motor dan sepeda.
Dalam pertunjukan Semar Mbangun Khayangan ini, ceritanya menggambarkan kekhawatiran Semar tentang nasib rakyat di Amerta yang semakin menderita. Dia berusaha mencari solusi, salah satunya adalah dengan membangun khayangan. Namun, yang dimaksud dengan khayangan oleh Semar bukanlah struktur megah dengan semua fasilitasnya, tetapi nilai mental dan jiwa dari para Pandawa atau pemimpin yang Semar gambarkan sebagai Khayangan. Semar berharap agar para Pandawa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Karakter lain seperti Bagong dan Petruk, yang menggambarkan rakyat kecil, seringkali memberikan nasihat kepada para pemimpin agar tidak bertindak sewenang-wenang dan agar mereka tetap berpegang pada nilai-nilai humor dan tawa. Namun, konflik timbul antara para elit dan rakyat yang menuntut perubahan di Amarta
Tetapi Semar tetap bertekad, meskipun tindakannya tidak mendapat persetujuan dari penguasa dan pemimpin. Dengan kemampuan dan tekadnya yang kuat, akhirnya Semar berhasil mengimplementasikan rencananya. Jamus Kalimasada adalah pusaka utama Kerajaan Amarta, yang sebenarnya merupakan "Dua Kalimat Syahadat" yang merupakan inti keimanan seseorang. Sedangkan Tumbak Kalawelang adalah simbol kecerdasan batin. Bentuknya menyerupai anak panah, tetapi lebih besar. Istilah "panah" berasal dari kata "Manah" dalam bahasa Jawa kuno, yang mencerminkan budi pekerti, pikiran, perasaan, dan jiwa.
Dalam bahasa Jawa, "manah" juga mengacu pada "penggalih". Jika batin seseorang terganggu, maka seluruh aspek jiwa dan tubuh akan terganggu, dan perilaku manusia akan terpengaruh. "Kalawelang" mengacu pada "Kala" dan "Welang". "Kala" melambangkan perjalanan waktu yang tidak bisa dihentikan. Semuanya akan dilalui dan dihancurkan oleh "Sang Kala". "Welang" adalah ular berbisa yang paling mematikan. Namun, dalam konteks ini, "welang" terhubung dengan "wulang" dan "weling", yang mengacu pada ajaran dan cerita. Para Pandawa sebagai pemimpin merasa bahwa keinginan Semar untuk membangun khayangan tidak sesuai dengan peran Semar yang ada di dunia manusia. Ini memicu perdebatan yang menghasilkan konflik intens antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin dalam pertunjukan Semar Mbangun Khayangan digambarkan sebagai sosok yang hanya mendengarkan pendapat para elit, mengabaikan kebutuhan rakyat, dan tidak mampu bertindak adil.
Seperti Semar yang ingin membangun khayangan bukan hanya sebagai struktur fisik, Mahkamah Agung juga mengharapkan landasan hukum bukan hanya menjadi tumpuan formalitas, tetapi juga menjadi panggung penyelenggaraan keadilan yang berfungsi dengan baik. Seperti Semar yang berharap para Pandawa memikirkan nasib rakyat, Mahkamah Agung berharap agar semua pihak, termasuk pemimpin dan masyarakat, bersama-sama merenungkan pentingnya keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Seperti Semar yang tetap teguh dalam tekadnya meskipun tidak semua pihak mendukung, Mahkamah Agung juga mengemban tanggung jawab dengan keberanian dan ketegasan dalam menjalankan fungsi pengadilan tanpa takut terhadap tekanan atau campur tangan eksternal. Seperti Jamus Kalimasada yang menjadi pusaka Prabu Puntadewa, Mahkamah Agung berperan sebagai penjaga keadilan dan prinsip-prinsip hukum yang menjadi pusaka bangsa.